Tentang saya
Nama saya Muhammad Syamsul.
Seperti jutaan umat lainnya, nama Muhammad di bagian depan bukan karena tren, tapi sebagai bentuk penghormatan kepada sosok paling terpuji di dunia Islam. Dalam bahasa Arab, artinya yang terpuji. Jadi ekspektasi orang tua sejak lahir memang sudah tinggi.
Syamsul sendiri berasal dari kata syams, yang artinya matahari. Jadi kalau dirangkai, nama saya bisa dimaknai “Orang yang terpuji dan bersinar terang seperti matahari.” Harapannya, bukan cuma bercahaya pas di siang hari saja, tapi juga bisa bersinar memberi cahaya disaat gelap gulita dan bisa menjadi solusi dari setiap persoalan.
Lahir di era 90-an berarti tumbuh di masa transisi yang unik. Masa ketika teknologi belum mendominasi hidup sehari-hari. Masa bermain kelereng, layang-layang, atau mainan legendaris seperti mobil Tamiya, Beyblade, Nintendo, Sega, dan PlayStation. Minggu pagi dipenuhi dengan tontonan seperti P-Man, Crayon Shinchan, Doraemon, Dragon Ball, Power Rangers, hingga Pokémon.
Dibesarkan dengan nilai adat Kesultanan Buton dan ditempa oleh kuliner khas seperti ikan parende, kasuami, kambuse, dan bagea. 
Di usia 19 tahun, merantau demi satu tujuan mulia belajar dan membawa ilmu pulang ke tanah kelahiran. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) jadi rumah kedua saya. Tempat di mana saya digembleng bukan hanya fisik, tapi juga mental, disiplin, dan rasa tanggung jawab. Dibalik seragam, ada doa orang tua. Dibalik baris-berbaris, ada perjuangan panjang. Tanggal 9 Juni 2015, momen bersejarah saat Presiden RI ke-7, Bapak Ir. Joko Widodo secara simbolis menyematkan tanda kelulusan sebagai Pamong Praja Muda.
Di usia 24 tahun, saya memutuskan untuk menikah. Bukan karena ikut lomba “siapa cepat dia dapat”, tapi karena merasa sudah cukup bekal niat, mental, dan sejujurnya agak sedikit nekat.
Menikah muda memang tidak selalu mulus, emosi kadang naik turun seperti harga lombo biji di pasar. Tapi sisi positifnya, punya energi lebih untuk membangun keluarga, dan anak-anak.
Tahun 2018, hadir seorang putra yang membawa cahaya lebih terang dari saya sendiri. Dia bukan hanya pelengkap hidup, tapi juga pengingat bahwa tanggung jawab itu nyata. Semoga ia tumbuh menjadi pribadi yang saleh, tangguh, dan tentu saja lebih hebat dari ayahnya.
Menjadi ASN bukan sekadar soal gaji bulanan dan apel hari Senin. Ini tentang amanah untuk melayani masyarakat, menjaga integritas, dan memastikan bahwa meja kerja bukan cuma tempat simpan kopi, tapi juga tempat melahirkan ide dan solusi. Setiap tanda tangan yang saya buat, saya anggap sebagai bentuk kecil dari pelayanan. Karena menjadi ASN bukan pekerjaan biasa, ini jalan pengabdian.
Saya meyakini, hidup ini seperti birokrasi, kadang rumit, kadang berbelit, tapi tetap bisa dijalani asal sabar.