Pegawai Kantoran,  Reflektif

Antara Terompet dan Deadline

WhatsApp-Image-2025-11-03-at-13.00.27-683x1024 Antara Terompet dan Deadline

Di sebuah ruangan berukuran 6×9 meter yang penuh dengan energi kerja dan sedikit aroma rebusan. Para pegawai sedang tenggelam dalam lautan tugas dan tanggung jawab. Papan keyboard nyaris kwalahan mengikuti arahan jari-jari yang menari menuntaskan draft surat. Ada yang serius menyusun konsep seperti sedang menyusun “pidato kenegaraan”. Ada yang kejar-kejaran dengan deadline ajang nominasi Kementerian seolah hidupnya ditentukan oleh submit sebelum jam 12.00 siang. Ada juga yang sibuk menelpon kanan-kiri, mirip petugas layanan pelanggan Telkomsel pas sedang jam sibuk. Dan satu orang terlihat sedang bertapa dalam keheningan, entah mencari wangsit, ketenangan, atau mungkin sinyal WiFi.

Suasana mendadak hening, begitu heningnya hingga suara napas terdengar lebih jelas dari suara nada notifikasi WhatsApp.

Dan tiba-tiba…

TIIIIIUUUUUTTTTT!!! Sebuah suara terompet meraung keras. Antara sangkakala “kiamat” dan terompet perang zaman Majapahit, kami pun tersentak. Monitor PC berguncang, Fokus buyar, konsep surat berhamburan di pikiran, dan ada yang tersedak oleh rubusan ubi.

Saya melirik jam tangan. Pukul 10.00 tepat. Ah, baru ingat ini bukan panggilan perang, ini panggilan jiwa Nasionalisme. Sesuai dengan warisan sejarah, di jam segini dulu Ir Soekrano membacakan Proklamasi kemerdekaan. Mungkin karena alasan itu, maka di jam seginilah lagu Indonesia Raya berkumandang, sebagai bentuk penghormatan.

Para pegawai mulai bergerak ke ruang tengah. Ada yang sigap seperti pasukan paskibra, ada yang jalannya lesu seperti habis lari 10K tidak sarapan. Beberapa ada pegawai yang mulutnya masih komat-kamit, seperti sedang menyusun kata-kata untuk menyempurnakan draf surat yang sedang disusunnya. Ada yang bahkan keluar ruangan sambil melakukan peregangan, seperti habis bangun dari tidur panjang di gua pertapaan.

Setibanya di ruang tengah, semua bersiap. Lagu Indonesia Raya mulai dikumandangkan.

Ruang kantor berubah seketika menjadi panggung drama musikal bertema Nasionalisme. Ada yang menyanyi penuh semangat, suaranya lantang dan penuh jiwa, seperti veteran perang membela tanah air. Ada juga yang suaranya lebih mirip bisikan rahasia negara pelan tapi tetap bernyanyi. Beberapa menyanyikan dengan penghayatan seperti pemain timnas yang siap berlaga di GBK. Tapi ada juga yang semangatnya selevel lampu 5 watt, cukup menyala, tapi tidak terang.

Namun, di balik segala dinamika itu, satu hal yang pasti, semua pegawai telah melaksanakan perintah pimpinan. Instruksi telah dijalankan. Lagu telah dinyanyikan dan dokumentasi pun aman tersimpan di ponsel Kasubbag Kepegawaian, sebagai bukti bahwa semangat patriotisme masih hidup.

Share this content:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *